Lompat ke konten

Merayakan Dua Laras Bahasa Indonesia

Dalam bukunya, Ajaib, Istimewa, Kacau, André Möller, berhasil membuat saya sadar bahwa bahasa Indonesia d/h (ed. dahulu) bahasa Melayu sesungguhnya tidak seegaliter yang dielu-elukan selama ini. Dari sudut pandang orang Swedia yang bahasanya telah berhasil menghapuskan sebutan-sebutan penghormatan seperti Pak/Bu, Kak/Dik dll., bahasa Indonesia masihlah hierarkis dan oleh sebab itu tidak sepenuhnya egaliter. Ketika bertutur dengan bahasa Indonesia, seseorang tetap harus sadar akan kedudukan dirinya, usia, dan kedekatan dengan lawan bicara, serta dalam laras bahasa Indonesia apa ia seharusnya bicara.

Akan tetapi tentu saja jika disejajarkan dengan bahasa Jawa yang mengenal setidaknya tiga tingkatan bahasa yang cukup rumit, bahasa Indonesia tampil sebagai bahasa yang demokratis dan egaliter. Pramoedya Ananta Toer, yang merupakan orang Jawa sendiri, sampai-sampai merasa tidak sudi berbicara dalam bahasa Jawa karena hal ini. Baginya, bahasa Indonesia telah membebaskan dirinya dari keruwetan dan belenggu hierarkis dalam kebudayaan Jawa. Pram dalam banyak tulisannya juga tak henti memuji bagaimana bahasa Melayu, induk bahasa Indonesia, menjadi bahasa yang demokratis dan jauh dari feodalisme. Salah satunya dalam Rumah Kaca, ia menyebut bahasa Melayu sebagai “bahasa bebas untuk orang bebas”.

Bahasa Melayu sesungguhnya adalah bahasa yang sangat buyar, sangat terdesentralisasi. Di Indonesia sendiri, terdapat ratusan dialek Melayu yang tersebar dari barat ke timur Kepulauan Hindia. Jadi, ragam bahasa Melayu mana yang dimaksud Pram sebagai bahasa bebas? Dalam hal ini, Pram mungkin bermaksud menunjuk bahasa Melayu Rendah atau bahasa Melayu Pasar, yang memang tidak perlu dipertanyakan lagi kebebasan dalam berbahasanya. Bahasa ini telah digunakan sebagai basantara oleh ratusan suku bangsa di seantero Nusantara, kata dan ungkapan baru masuk dari orang mana saja tanpa pandang bulu. Tidak ada pembakuan ejaan, tidak ada tata bahasa pakem, tidak ada otoritas bahasa; sebuah bahasa bebas yang paripurna. Meskipun demikian, Pram sebenarnya tidak menulis dalam bahasa ini. Bisa dibilang, Pram menulis dalam bahasa Melayu Tinggi.

Melayu Rendah dan Tinggi: keberagaman yang dibenturkan

Bahasa Betawi

Salah satu bentuk keberagaman bahasa Melayu dialek Batavia yang menjadi cikal bakal bahasa Betawi yang kita kenal sekarang.

Karya: RantemarioCC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons

Henk Meier, peneliti sastra dan bahasa di Nusantara, seperti yang dikutip dalam Catatan Pinggir 13, mengatakan bahwasanya bahasa Melayu itu kukuh, tetapi juga lemah. Kukuh karena mampu menarik minat orang-orang yang menuturkan bahasa lain untuk belajar dan menggunakan bahasa Melayu. Lemah karena kurang mempunyai titik berat yang dapat dijadikan sebagai acuan standar. Menyadari kelemahan tersebut, upaya-upaya untuk menstandarkan bahasa ini pun digalakkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari sekian banyak dialek Melayu di Nusantara, bahasa Melayu dialek Riau-Lingga kemudian yang dipilih dan diangkat menjadi bahasa Melayu resmi pemerintahan. Hal ini menimbang adanya kegiatan pembakuan pendahulu dan kesuburan sastra di kawasan tersebut yang dikembangkan oleh para pujangga-cendekiawan di lingkungan istana Riau-Lingga.

Pembakuan ini kemudian menimbulkan suatu efek samping. Basantara yang selama itu dituturkan di berbagai kota-pelabuhan Nusantara bukanlah bahasa Melayu tersebut. Sehingga, ketika Belanda menyebarkan bahasa Melayu Riau-Lingga melalui sekolah-sekolah dan terbitan-terbitan Balai Pustaka, bahasa ini terdengar tinggi dan sastrawi, bukan bahasa Melayu yang mereka dengar sehari-hari. Hadirnya buku-buku Balai Pustaka ini juga menandai bercabangnya sastra pra-Indonesia kala itu: sastra Melayu Rendah yang ditulis oleh orang-orang Tionghoa dan sastra Melayu Tinggi yang ditulis oleh orang-orang Sumatra di Balai Pustaka.

Kwee Tek Hoay (dikutip dari Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia: Drama di Boven Digul, 2001:XVII), sastrawan yang menulis dalam Melayu Rendah, pernah mengkritik bahasa tinggi ini sebagai bahasa yang tidak alamiah, seperti barang bikinan, tidak mampu melukiskan tabiat dan tingkah laku sesungguhnya, seperti bahasa dalam pertunjukan wayang yang tidak ditemukan dalam perbincangan sehari-hari. Sastra Melayu Rendah boleh dibilang berakhir setelah berangsur-angsur tergilas kampanye bahasa Melayu Tinggi yang didukung pemerintah kolonial dan kemudian Republik dengan bahasa Indonesianya. Perpecahan bahasa ini, oleh Ajip Rosidi (Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, 2018:20), dianggap berakhir semenjak munculnya Chairil Anwar yang memungut kata-kata dari bahasa sehari-hari sebagai bagian dari bahasa Indonesia. Melihat gelagat Angkatan 45 ini, A. Teeuw lantas memberikan usulan agar sastra Indonesia sebaiknya memang seperti itu, yakni bisa mendekati bahasa sehari-hari (Perlawanan atas Diskriminasi Rasial-Etnik, 2000:61).

Meski produksi sastra Melayu Rendah bisa dibilang mandek menjelang Orde Baru, bahasa ini masihlah hidup sebagai bahasa lisan di perkotaan. Orang sekalipun menulis dalam bahasa Indonesia yang berbunyi tinggi dan resmi, mereka tidak menggunakannya untuk berbicara di warung, pasar, atau jalanan. Mereka tetap menggunakan bahasa Melayu Rendah. Dari sekian macam Melayu Rendah yang tercecer di Kepulauan ini, bentuknya yang paling terkemuka tidak lain adalah bahasa Betawi, bahasa pergaulan di pusat kekuatan politik, budaya, dan ekonomi Hindia Belanda, kemudian Indonesia.

Kramanisasi bahasa Indonesia: dari wajar menjadi penuh kesantunan

Ben Anderson mengamati dan menyadari adanya dua tingkatan bahasa itu dalam perkembangan bahasa Indonesia. Dalam argumennya, ia menyalahkan Orde Baru yang telah mengutak-atik bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia itu melambung menjadi bahasa tinggi yang santun dan halus, ia tidak lagi terdengar wajar dalam percakapan sehari-hari. Sementara, tempat bahasa rendah diambil alih oleh bahasa Jakarta. Dalam hal ini, Ben mengibaratkan bahasa Indonesia formal sebagai bahasa krama dan bahasa Indonesia gaul sebagai bahasa ngoko. Oleh sebab itu, ia menamakan gejala ini sebagai kramanisasi bahasa Indonesia.

Walau begitu, penjenjangan dalam bahasa Indonesia ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari sejarah panjang penggunaan bahasa Melayu Tinggi dan bahasa Melayu Rendah di masa lampau. Orde Baru bukan memulainya, melainkan memperkuatnya. Hal ini juga ditunjang oleh peran swasta-swasta di Jakarta yang membanjiri budaya populer nasional dengan bahasa Betawi dan kemudian bahasa Jakarta. Bahasa Jakarta di sini, menurut hemat saya, merupakan terma yang bermanfaat untuk membedakannya dari tuturan “murni” dalam kalangan Betawi sendiri. Bahasa Jakarta agak bergeser dari bentuk Betawinya karena dipakai oleh orang Jakarta secara umum terlepas dari latar belakang kesukuannya.

Istilah yang lebih kontemporer menyebut dua jenjang bahasa Indonesia ini dengan bahasa baku (tinggi) dan bahasa gaul (rendah). Secara de facto, kedua laras bahasa ini memainkan perannya masing-masing secara bergantian dalam kehidupan orang Indonesia. Keduanya saling melengkapi untuk digunakan dalam berbagai situasi sosial dengan tingkat keresmian dan keakraban yang berbeda-beda. Meski demikian, batasan antara keduanya tidak selalu kentara. Seseorang mungkin menyelipkan satu-dua kalimat bahasa gaul dalam presentasi kantor atau menyelipkan satu-dua kalimat bahasa baku untuk menjelaskan konsep yang rumit dalam pembicaraan sehari-hari.

Hasrat untuk menjadikan bahasa Indonesia satu laras saja telah ditunjukkan oleh pemerintah selama puluhan tahun. Badan Bahasa tampak tidak pernah merestui keberadaan dan perkembangan bahasa gaul di Indonesia. Bahasa gaul dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berbagai macam koreksi dan kampanye penggunaan bahasa baku sebagai satu-satunya laras bahasa Indonesia senantiasa digencarkan. Walaupun demikian, upaya-upaya untuk menghilangkan atau mengurangi pengaruh bahasa gaul adalah hal yang sia-sia belaka. Bahasa baku dari oroknya tidak pernah dimaksudkan untuk tuturan sehari-hari. Kalau-kalau menghendaki bahasa yang egaliter, maka yang mestinya dipertahankan adalah bahasa gaul. Namun tentu hal ini juga tidak mungkin sebab sastra, hukum, dan birokrasi Indonesia hampir seluruhnya bertumpu pada bahasa baku.

Bahasa baku dan bahasa gaul: hidup berdampingan

Anton Moeliono (dalam In Search of Middle Indonesia, 2014:273), mantan Kepala Pusat Bahasa, pernah mengakui secara pribadi tentang pentingnya bahasa gaul di samping bahasa baku. Ia menyadari bahwa bahasa Indonesia baku tidak memiliki ragam percakapan sehari-hari, sehingga bahasa gaul atau bahasa Jakarta dapat mengisi kekosongan ini. Pendapat senada juga datang dari Harimurti Kridalaksana, seorang pakar bahasa dan sastra Indonesia, yang menyarankan pendekatan lebih positif terhadap bahasa gaul dan mengakui potensi penggunaan bahasa gaul dan bahasa baku yang melengkapi satu sama lain (Diglossia in Indonesian, 2003:525).

Pengakuan terhadap dua laras ini menjadi penting utamanya karena jarak bahasa baku dan bahasa gaul terbilang cukup jauh. Kedua laras bahasa ini sejatinya merupakan dua dialek bahasa Melayu yang berbeda yang dipadukan dalam satu kesadaran bahasa. Oleh karena itu, kurang tepat bila menyepelekan perbedaan antara keduanya sebagaimana perbedaan bahasa Inggris formal dan informal. Perbedaan bahasa baku dan bahasa gaul dapat dilihat dari segi kosakata, imbuhan, bahkan hingga ke tingkat tata bahasa. Seorang pelajar asing yang hanya diajarkan bahasa baku umumnya akan mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dalam pergaulan sehari-hari yang menggunakan bahasa gaul. André Möller juga memberikan sudut pandang orang asing terhadap penggunaan dua laras bahasa ini, “kadang-kadang ini rasanya adalah dua bahasa yang berbeda.”

Sekarang mungkin adalah waktu yang tepat untuk menerima dan mengakui bahwasanya bahasa Indonesia telah berkembang menjadi dua laras bahasa yang cukup konsisten, dari bentuk awalnya Melayu Tinggi dan Melayu Rendah hingga kini menjadi bahasa baku dan bahasa gaul. Badan Bahasa boleh berhenti mempersalahkan ejaan-ejaan dan pemilihan kata bahasa gaul, serta mengalihkan sebagian tenaganya untuk pendokumentasian dan pengkajian terhadap bahasa gaul yang selama ini absen. Bahasa gaul bukanlah musuh bahasa baku, melainkan keduanya merupakan bahasa Indonesia yang digunakan secara berdampingan. Hal ini adalah suatu keunikan dan identitas Indonesia yang pantas dirayakan.

Daftar pustaka

  • Faruk dkk. 2000. Perlawanan atas Diskriminasi Rasial-Etnik. Magelang: Yayasan IndonesiaTera.
  • van Klinken, Gerry (editor). 2014. In Search of Middle Indonesia. Leiden: Brill
  • Möller, André. 2019. Ajaib, Istimewa, Kacau. Jakarta: Kompas
  • Mohamad, Gunawan. 2019. Catatan Pinggir 13. Jakarta: Tempo
  • Rosidi, Ajip. 2018. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya.
  • Sneddon, J.N. . 2003. “Diglossia in Indonesian” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania 159(4):519-549. Tautan ResearchGate
  • Tek Hoay, Kwee. 2001. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia: Drama di Boven Digul. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Cerita Bahasa

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca